Tahukah Anda bahwa 78.3% anak yang
menjadi pelaku kekerasan, sebagian besar di antaranya pernah menjadi korban
kekerasan atau pernah melihat kekerasan dilakukan kepada anak lain lalu
menirunya?
Pada 23 Juli 2016 lalu, diperingati sebagai Hari
Anak Nasional. Hampir semua pihak berharap agar kekerasan terhadap anak harus
dihindari. Baik kekerasan fisik maupun psikologis.
Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan bahwa kekerasan anak selalu
meningkat setiap tahun. Hasil pemantauan KPAI dari 2011 sampai dengan 2014,
terjadi peningkatan yang sifnifikan.
“Tahun 2011
terjadi 2178 kasus kekerasan, 2012 ada 3512 kasus, 2013 ada 4311 kasus, 2014
ada 5066 kasus,” kata Wakil Ketua KPAI, Maria Advianti kepada Harian Terbit,
Minggu (14/6/2015). Sementara itu, pada tahun 2015 kekerasan yang terjadi pada
anak mencapai 6006 kasus.
Kekerasan tersebut justru banyak terjadi
ketika anak berada di lingkungan keluarga dan sekolah. Artinya, pelaku kekerasan anak kebanyakan justru orang
yang dekat dengan anak.
Merasa Berhak Memukul Anak
Hampir semua orang tua akan marah jika mengetahui
anaknya dipukul orang lain. Jangankan dipukul, mendengar anaknya dicaci saja
langsung tidak terima tanpa mempedulikan duduk perkara. Misalnya, kasus guru di
Sidoarjo yang dilaporkan orang tua siswa karena mencubit anaknya.
Tapi lucunya, banyak orang tua yang merasa
berhak memukul anaknya dengan alih-alih mendidik. Dan akan memukul lagi jika si
anak ‘nakal’ lagi. Ujung-ujungnya banyak kasus kekerasan anak hingga membuat si
anak mengalami luka serius bahkan meninggal yang dilakukan oleh orang tua,
keluarga, atau orang terdekat lainnya. Ini karena rasa ‘berhak’ atas diri anak.
Padahal setiap anak memiliki karakter dan minat tersendiri yang mungkin saja
sangat berbeda dengan orang tua atau kerabatnya.
Terbiasa Melakukan Kekerasan Verbal
Satu jenis kekerasan yang dianggap biasa dan
bukan sebagai kesalahan adalah kekerasan verbal. Mulai dari cacian, hinaan, dan
perkataan kasar lainnya sering terdengar dari seorang ibu atau bapak kepada
anaknya, juga guru kepada siswanya. Karena kekerasan verbal ini tidak membuat
fisik anak tampak terluka, banyak pihak yang secara sadar atau tidak sadar
melakukannya pada anak.
Padahal, sebetulnya ketika seseorang menerima
kekerasan verbal, alam bawah sadar dan psikologinya tersakiti. Bahkan bisa
membuatnya berpikir untuk bunuh diri. Gary Manie, dari Workplace
Bullying Institute, Idaho menyatakan bahwa kekerasan verbal yang dilakukan
dalam waktu lama dapat membuat otak dipenuhi hormon glucocorticoids, yakni salah
satu hormon stres yang membuat seseorang memikirkan hal negatif dan sulit
mengambil keputusan tepat, salah satunya dengan bunuh diri.
Dampak dari kekerasan
verbal memang tidak langsung tampak. Namun, kekerasan tersebut bisa memicu sifat
dan sikap negatif pada anak yang jika dibiarkan akan menjelma menjadi karakter
anak, misalnya penakut, pendiam, pembohong, dan lain sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar