Senin, 11 Juli 2016

Susahnya Berbuat Baik meski Sudah Niat

Kemarin (10/07), pas saya balik dari Jombang ke Surabaya, lagi-lagi mengulangi kesalahan yang sama. Apalagi kalau bukan soal merealisasikan niat baik menjadi sesuatu yang lebih berarti ketimbang sekadar niat.

Memang, segala sesuatu bermula dan bergantung pada niat. Jadi, niat memang penting. Tapi, walaupun Tuhan telah menghargai kebaikan manusia yang masih berupa niat, saya merasa kurang berguna karena kebaikan saya cuma mentok di niat.
Begini, masih dalam waktu arus balik, tentu jumlah kendaraan tidak diragukan banyaknya. Nah, saat itu sebetulnya ramainya jalan masih terhitung normal karena tidak sampai macet. Saat suami saya fokus mengemudi motor dan saya fokus nganggur di boncengan, tampak oleh mata saya sepasang kekasih tua (kakek dan nenek) yang terlihat takut untuk menyeberangi jalan.

Jelas terdengar oleh saya sendiri, hati saya sangat ingin membantu mereka menyeberang. Namun, yang saya lakukan hanyalah melongo sambil konsentrasi memandang mereka dan masih di boncengan, tanpa menepuk pundak suami untuk menepi dan menghentikan motor, lalu membantu mereka sampai di seberang jalan. Setelahnya, seperti biasa saya tutup drama sore itu dengan sesal. Sudah, titik.

Tubuh Belum Terbiasa Berbuat Baik

Melihat respons tubuh yang lamban, saya berpikir. Apa yang tidak tepat pada diri saya? Padahal itikad baik dalam hati dan pikiran saya melesat cepat saat kali pertama mata melihat individu yang butuh pertolongan. Tetapi, tindakan yang lamban membuat saya beranggapan ‘halah, sudah terlambat’.

Setelah saya kaji, ternyata tubuh saya kurang terbiasa untuk menolong orang (yang tidak dikenal). Otot-ototnya kudu dipanasi terlebih dahulu dalam waktu yang terlampau lama sebelum bertindak.

Mungkin akan lebih baik jika saya melakukannya terlambat, tapi melakukannya. Daripada sudah tahu terlambat dan membiarkan saja. Semoga, dengan berlatih terus-menerus tubuh saya akan terbiasa berbuat baik secara cepat, tepat, dan otomatis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar